
Menjelang akhir tarian, mereka ternyata memerankan dua kelompok yang berseberangan. Para penonton seperti tersihir menyaksikan penampilan ketujuh perempuan yang sedang membawakan tari “Bedhaya Bedhah Madiun” karya Kanjeng Pangeran Adipati Aryo (KPAA) Mangkunegoro IV. Itulah tari yang mengawali pergelaran Mangkunegaran Performing Art 2010, di Pendapa Agung Pura Mangkunegaran pada Kamis-Jumat (2-3/7) lalu.
“Bedhaya Bedhah Madiun” menggambarkan peperangan antara Raja Mataram Panembahan Senopati dengan Retno Dumilah, putri Adipati Ronggolumpeno di Madiun. Namun meski mengisahkan peperangan, tarian ini tidak tampil layaknya tarian perang lain. Bedhaya Bedhah Madiun justru penuh dengan gerakan lembut. Pereselisihan justru berakhir dengan luluhnya Retno Dumilah yang kemudian menjadi istri Panembahan Senopati. Tak hanya “Bedhaya Bedah Madiun”, sejumlah karya tari masterpiece koleksi Pura Mangkunegaran juga ditampilkan dalam Mangkunegaran Performing Art. Adalah “Gatutkaca Dadung Awuk”, sebuah taria karya KGPAA Mangkunegara V.
Tarian yang menceritakan perang tanding antara Gatotkaca melawan raksasa penunggu hutan Dadung Awuk ini pernah tampil dua kali di Paris, Perancis. Pertama, tarian ini tampil dalam peresmian Menara Eiffel tahun 1889. Penampilan kedua terjadi pada tahun 1989 dalam perayaan 100 tahun berdirinya menara itu.
“Dari catatan yang ada, tahun 1889 tarian Gatotkaca Dadung Awuk ikut tampil bersama tarian dari Keraton Cirebon dalam peresmian menara Eiffel,” ujar Pengageng Pura Mangkunegaran GPH Herwasto Kusumo.
Dia menambahkan Bedhaya Bedhah Madiun dan Gatotkaca Dadung Awuk merupakan tarian yang biasa disuguhkan untuk tamu-tamu kehormatan Pura Mangkunegaran.
“Lewat ajang ini, kami ingin menampilkan untuk masyarakat umum agar mereka juga tahu tari-tari koleksi Mangkunegaran.”
Tak kalah menarik adalah “Srimpi Moncar” yang dibawakan oleh empat perempuan penari. Tarian yang diciptakan oleh KGPAA Mangkunegara VII ini menampilkan dua penari dengan kostum China warna merah menyala beriku dengan selendang. Di pinggang penari terselip sepucuk pistol. Sementara dua penari lainnya mengenakan kostum Srimpi khas Pura Mangkunegaran. Pada pertengahan tarian, dua penari berkostum Srimpi ini bersenjatakan panah untuk melawan Putri China. Tarian klasik itu sendiri bertutur tentang perselisihan antara Adanenggar dan Kelaswara yang memperebutkan Wong Agung Menak. Uniknya, meski kisah yang disampaikan penuh dengan adegan perang, namun tarian ini justru dibawakan dalam ritme pelan dan halus.
Lepas dari “Srimpi Moncar” adalah Tari Dewi Sekartaji yang merupakan fragmen atau potongan cerita dari Wayang Gedog. Lagi-lagi, tarian ini berkisah tentang perang. Kali ini pertempuran antara Kelana Sewandana dari Kerajaan Bantarangin melawan Panji Inukertapati dari Kediri yang memperebutkan pitri Kerajaan Daha, Dewi Sekartaji. Konon, Sekartaji adalah titisan Dewi Widowati dari kayangan. Bagi siapa pun yang berhasil memperistrinya akan menurunkan raja-raja besar di Jawa.
Berbeda dengan dua tarian perang sebelumnya, Tari Dewi Sekartaji yang dibawakan dua penari bertopeng ini memiliki warna yang sedikit rancak terutama pada gerakan-gerakan tangan dan kepala. Tarian ini juga terkesan lebih segar karena pada beberapa bagian terdapat gerakan-gerakan kocak, misalnya ketika seorang penari meledek penari lainnya dengan cara membuat gerakan menggeleng.
“Tari ini juga sering disebut Tari Topeng Dewi Sekartaji. Topeng-topeng itu mewakili karakter yang dibawakan. Meski tarian ini cukup dikenal, namun sudah jarang yang bias membawakannya,” kata Herwasto Kusumo.
Pada hari kedua tampil “Tari Gambyong Retno Kusumo” yang dibawakan oleh delapan orang penari. Tarian untuk menyambut tamu agung kerajaan ini diciptakan pada masa pemerintahan KGPAA Mangkunegaran VIII. Tari kedua adalah “Tari Wireng Bandabaya” atau tarian prajurit yang diciptakan pada masa pemerintahan KGPAA Mangkunegaran IV.
Seperti hari pertama, pergelaran hari kedua Mangkunegaran Performing Art 2010 juga penuh sesak penonton. Mereka bahkan berdesakan di pinggir pendapa, karena kursi-kursi penuh terisi. Pergelaran tari ini tampaknya juga membuktikan bahwa seni-budaya tradisional, dalam hal ini tari, masih memiliki banyak penggemar.
Herwasto Kusumo yang juga ketua penyelenggara mengungkapkan bahwa sebagian besar klasik dalam Mangkunegaran Performing Art masih dalam bentuk aslinya. Tarian-tarian itu selama ini bahkan jarang ditampilkan untuk umum.
“Bedaya Bedhah Madiun itu termasuk tarian sakral. Tarian itu misalnya pernah disajikan saat pernikahan Ratu Wilhelmina di Belanda,” ujarnya. Namun, tambah Herwasto, dari sejumlah nomor tari yang ditampilkan memang ada yang udah dimodifikasi menjadi tarian rakyat, seperti Tari Bondobayan dan Tari Golek Motro.
foto: Agus Sektiawan

“Ini salah satu upaya kami mengenalkan seni-budaya keraton, sekaligus untuk mempromosikan Kota Solo dan menarik minat wisatawan,” kata Kepala Diparbud Kota Solo Purnomo Soebagyo.
Ajang Mangkunegaran Performing Art juga sebagai salah satu cara melestarikan dan mengembangkan seni dan budaya Jawa. Even tahunan yang sudah berlangsung untuk ketiga kalinya itu selama ini tergolong sukses mengangkat citra Solo sebagai kota budaya. Setidaknya hal itu jika dilihat dari sisi jumlah an antusias pengunjung yang dating dari berbagai kota, termasuk wisatawan asing. (Ganug Nugroho Adi)
photo caption:
MANGKUNEGARAN1-2
Sejumlah penari membawakan tarian Bedhaya Bedhah Madiun dalam even Mangkunegaran Performing Art 2010 di Pendapa Agung Mangkunegaran, Solo, Jateng, Jum’at (2/7).
Foto: Ganug Nugroho Adi
Popularity: 2% [?]
0 komentar: